You are currently viewing InjMg Biasa XV – C 14 Jul 13 (Luk 10:25-37)

InjMg Biasa XV – C 14 Jul 13 (Luk 10:25-37)

Meskipun tidak jelas-jelas disebutkan, kisah orang Samaria yang baik hati dalam Luk 10:25-37 (Injil Minggu Biasa XV tahun C) adalah sebuah perumpamaan. Yesus menampilkannya dalam pembicaraan dengan seorang ahli Taurat.

HIDUP KEKAL = DASAR DIALOG IMAN?
Apa yang mesti dilakukan untuk memperoleh kehidupan kekal? Masalah yang diungkapkan ahli Taurat kepada Yesus ini menyuarakan pertanyaan dalam diri banyak orang. Orang merasa adanya kaitan antara kehidupan sekarang dan nanti. Bila orang dapat membiasakan diri menerima kehadiran Yang Mahakuasa, tentunya nanti dalam kehidupan selanjutnya ia akan diingat olehNya. Bila orang berusaha berbuat baik kepada orang lain, rasa-rasanya juga tidak akan terlantar bila sudah pindah ke dunia sana nanti. Meski tidak ada jaminan yang pasti, keyakinan seperti ini menjadi dasar iman dalam arti yang paling umum yang diajarkan tiap agama. Bila begitu, mengapa dialog antar iman yang kerap dilakukan di banyak tempat di negeri kita ini jarang menyentuh dasar yang paling umum dari iman sendiri? Sedemikian lumrah sehingga terabaikan? Pokok ini bisa juga menjadi dasar dialog iman tanpa segera mengarah pada perbedaan agama seperti bacaan hari ini.

Baik Yesus maupun ahli Taurat mempunyai jawaban yang sama bagi pertanyaan bagaimana memperoleh kehidupan kekal tadi. Memang disebutkan bahwa sang ahli Taurat bermaksud “mencobai” Yesus. Maksudnya untuk menguji apa guru dari kalangan bukan resmi ini juga paham apa masalahnya. Yesus menggulirkan pertanyaannya kembali kepadanya. Tentu ahli Taurat itu senang mendapat kesempatan mengutarakan tesis baru mengenai soal iman tadi. Begitulah dalam ayat 27 (“Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hati, dengan segenap jiwamu, dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akalbudimu”), ia merumuskan kembali Ul 6:5 (“Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu, dengan segenap jiwamu, dan dengan segenap kekuatanmu”) dan menggabungkannya dengan Im 19:8 (“Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.”). Kedua perintah itu diketahui dan dipercaya orang, tetapi gabungan antara keduanya sebagai jalan emas untuk mencapai kehidupan kekal belum biasa terdengar di antara orang Yahudi. Lagipula apa hubungan antara keduanya, yang satu mewujudkan yang lain, atau dua hal terpisah dijalankan bersama?

DARI PERSPEKTIF PERJANJIAN LAMA
Perintah mengasihi Tuhan itu bagian dari ungkapan “Syema’ Israel” (“Dengarkanlah hai Israel!”) yakni ungkapan kepercayaan atau syahadat mereka, “Dengarkanlah hai Israel, Tuhan itu Allah kita, Tuhan itu esa!” (Ul 6:4) dan dalam ayat selanjutnya (Ul 6:5) dilanjutkan dengan kata-kata yang dikutip ahli Taurat tadi, yakni “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu, dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu.” Teks ini menyebut tiga unsur yang dijelaskan dengan kata “segenap”. Ahli Taurat tadi menambahkan hal keempat, yakni “segenap akalbudi” (Luk 10:27; Yesus juga menyebutkannya dalam Mrk 12:30 juga dalam Mat 22:37, walaupun Matius tidak menyebutkan “dan dengan segenap kekuatanmu”). Masalah teks ini tidak sukar dijelaskan. Dalam alam pikiran Ibrani, “hati” aslinya ialah tempat bernalar, jadi sama dengan akalbudi. Namun kemudian “hati” juga dimengerti sebagai tempat afeksi, termasuk iba hati, yang dulu-dulunya dibayangkan bertempat di perut. Beriba hati diungkapkan dengan “rahimnya tergetar”, “isi perutnya terpilin-pilin”, tergerak hatinya, seperti orang Samaria dalam Luk 10:33. Karena perkembangan itu maka dalam penerusan ayat tadi sering ditambahkan penjelasan mengenai yang sesungguhnya dimaksud dengan “segenap hati” tadi, yakni “seluruh akalbudi”. Penjelasan ini ditaruh pada akhir ayat sehingga tidak memecah rumusan asli.

Mengasihi Tuhan dengan segenap hati maksudnya ialah memikirkannya dengan sungguh, mencari tahu sampai ke dasar-dasarnya, mempelajari siapa Dia itu, mencoba mengerti kebesaranNya, juga dengan filsafat. Dengan “segenap jiwa” artinya tidak berpura-pura, di luar tampaknya penuh perhatian tapi di dalamnya tak peduli, atau ada udang di balik batu, ada agenda tersembunyi. Orang sekarang akan merumuskannya dengan gagasan “integritas”. Akhirnya, “segenap kekuatan” berarti kekayaan, harta, kedudukan, kepandaian, ketrampilan, apa saja yang dimiliki yang dapat membuat orang jadi terpandang. Semua hal yang ada pada manusia itu, hati/budi, integritas, kemampuan dapat diamalkan sehingga ungkapan “mengasihi Tuhan” makin berarti. Jadi mengasihi Tuhan itu sama dengan menjadi manusia yang makin utuh.

Bagian kedua dari kutipan ahli Taurat tadi merujuk kepada Im 19:18, yakni mengasihi sesama “seperti dirimu sendiri”. Apa artinya? Mengasihi orang lain dengan cara seperti layaknya kita memperhatikan diri kita sendiri, seperti yang ada dalam petuah emas “lakukan kepada orang lain seperti apa yang kauinginkan terjadi padamu”? Memang sering ditafsirkan demikian. Namun kalimat itu sebenarnya lebih sederhana: kasihilah sesamamu mengingat sesama itu ya seperti kamu-kamu juga. Sama-sama butuh keselamatan, sama-sama mau mendapat kebahagiaan dalam hidup kekal nanti. Jadi di sini ada ajakan menumbuhkan solidaritas di antara orang-orang yang berkemauan baik.

MENGINTIP INJIL MARKUS
Apa arti penggabungan perintah mengasihi sesama dalam Im 19:18 dengan perintah mengasihi Tuhan dalam Ul 6:5 tadi? Inilah pokok masalah yang sebenarnya ingin diajukan ahli Taurat tadi. Ia ingin tahu apa Yesus paham perkaranya. Apa bagi Yesus perintah yang pertama belum cukup dan harus digabung dengan yang kedua? Atau yang pertama itu mengharuskan yang kedua? Atau yang pertama itu bisa dilaksanakan dengan yang kedua, jadi yang kedua itu bentuk nyata dari yang pertama? Ahli Taurat itu mau tahu apa Yesus memiliki kemampuan berteologi atau hanya tahu abece katekismus saja.

Hal ini sudah pernah muncul dalam Mrk 12:28-34 (lihat juga Mat 22:34-40). Seorang ahli Taurat bertanya kepada Yesus manakah perintah yang utama. Jawab Yesus dalam Mrk 12:29-31 sama dengan kata-kata ahli Taurat dalam Luk 10:27 tadi. Dalam Mrk 12:32-33 sang ahli Taurat membenarkan Yesus dengan mengulang kedua perintah itu sambil menambahkan “[mengasihi Tuhan] dan mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri jauh lebih utama daripada semua kurban bakaran dan kurban lainnya.” Pernyataan “lebih utama” itu jelas terlihat dalam teks aslinya dimaksud sebagai predikat “mengasihi sesama…” Ini pernyataan yang amat berani. Ahli Taurat dalam Mrk 12:33 tadi menandaskan bahwa beragama itu intinya mengasihi sesama manusia – ini lebih utama dari pada semua praktek yang langsung meluhurkan dan mengasihi Tuhan, yakni segala macam kurban, segala macam upacara. Markus mencatat bahwa Yesus melihat ahli Taurat itu menjawab dengan bijaksana dan menyatakan bahwa ia tidak jauh dari Kerajaan Allah (Mrk 12:34).

Di kalangan orang Yahudi menjelang zaman Yesus ada pelbagai aliran kebatinan yang menekankan kesatuan antara kedua perintah tadi sambil menegaskan bahwa mengasihi sesama adalah jalan yang paling membuat orang sungguh mengasihi Tuhan. Pengajaran Yesus sendiri juga ada dalam arah itu. Nanti dalam ajaran mistik Yahudi dalam Abad Pertengahan, manusia kerap digambarkan sebagai percikan api yang asalnya dari Tuhan. Artinya dalam diri manusia ada secercah terang yang membawanya kembali kepadaNya, tanpa susah-susah, asal diterima. Jadi terimalah sesama karena ia juga mempunyai recikan keilahian yang sama, karena ia itu sesama itu gambar dan rupa ilahi. Sering ada ketegangan dengan mereka yang lebih melihat kedua perintah itu sebagai dua hal, bukan satu hal. Yesus mengatakan dalam Mrk 12:34 bahwa ahli Taurat yang bijaksana itu tidak jauh dari Kerajaan Allah, maksudnya, pemikiran ahli Taurat tadi amat dekat dengan warta Yesus sendiri. Pembicaraan dalam Luk 10:25-28 yang mendahului perumpamaan orang Samaria yang baik hati itu cerminan Mrk 12:28-34. Lukas mengolahnya dengan kisah orang Samaria yang baik hati.

ORANG SAMARIA
Ahli Taurat dalam Luk 10:25-37 itu sebetulnya mau tahu apakah Yesus paham di sini ada perkara teologis yang hanya bisa dipecahkan dengan kebijaksanaan seperti dalam Markus tadi. Apa Yesus itu orang yang hanya asal percaya huruf atau bisa dianggap kolega yang pintar berusaha mengerti ayat-ayat? Jawaban Yesus yang mengiakan itu memberi kesan seakan-akan ia tidak melihat apa yang diarah ahli Taurat tadi. Aha! Makin jelas perkaranya nih, begitu pikir sang ahli Taurat girang. Makin empuk mendekat ke pemecahan. Lalu kata Lukas yang sebenarnya memoderatori seminar antar pakar agama itu, ahli Taurat tadi bertanya lagi “untuk membenarkan dirinya” (ayat 28), dan mengungkapkan pokok masalah kedua: “Siapakah sesamaku manusia itu?”

Dengan bercerita mengenai orang Samaria yang baik hati itu Yesus menuntun ahli Taurat tadi sampai pada kebenaran. Tapi caranya khas. Ia dibawa ke arah yang berlawanan dan baru pada akhir orang dihadapkan pada jawaban sesungguhnya. Ahli Taurat itu mau tahu siapa sesama manusia dan perumpamaan itu pasti membuatnya mengira bahwa Yesus mau mengatakan bahwa sesama manusia ialah orang yang malang yang tak ditolong oleh kaumnya sendiri itu. Seolah-olah mau diajarkan bahwa pemuka Yahudi mestinya sadar bahwa mengasihi sesama itu mengasihi orang yang kena malang. Namun mereka sudah tahu. Pada akhir cerita itu (ayat 36) Yesus bertanya dan membuat orang sadar akan arah yang semestinya dipikirkan. Siapakah dari antara ketiga orang itu adalah sesama bagi orang malang itu? Tak bisa lagi dielakkan, sesama manusia bagi orang malang itu ialah orang Samaria tadi.

Pembaca dituntun beralih dari bertanya “Siapakah sesamaku?” menuju ke pemeriksaan diri “Aku ini sesama bagi siapa?” Kejujuran, kebaikan hati, kemauan menolong tidak menjadi pusat perhatian. Semua ini diandaikan ada. Yang mesti ditanyakan, semua ini kupunyai untuk siapa? Dengan semua ini aku bisa menjadi sesama bagi siapa? Lebih maju lagi, dengan menjadi “sesama” ini, bisakah aku makin menjadi jalan bagi sesama itu untuk tahu apa itu “mengasihi Tuhan dengan segenap hati, segenap jiwa, segenap kekuatan dan segenap akalbudi”? Bila orang sampai ke situ, boleh dibayangkan Yesus juga akan menyapanya dengan penuh pengertian, “Sana, jalankanlah!

Salam hangat,
A. Gianto